Waktu itu, matahari belum memancarkan cahayanya. Waktu menunjukkan pukul 04.00 WIB, sebentar lagi azan subuh berkumandang.
Belum sempat ia beranjak dari alas tidur, suara keras menggedor rumahnya yang hanya terbuat dari kayu dan bambu, sehingga begitu keras suaranya. “Ada apa,” tanya Cawi dengan penuh cemas ke ratusan tentara Belanda yang menggeledah rumahnya.
“Ada laki-laki di rumah ini,” tanya tentara Belanda dengan bahasa Indonesia yang tidak begitu bagus. Cawi pun menjawab, “Sejak gelap (dinihari) bapak ke sawah,” jawab Cawi terbata-bata.
Pasukan Belanda pun pergi, ia lega tidak terjadi sesuatu. Namun, selang 30 menit, usai azan subuh, suara tembakan, ‘dor dor dor’ berkali-kali disertai suara mortir dan sangat lama membuat bising telinga.
“Bising sekali pagi itu, karena suara senapan tak henti-hentinya,” kata Cawi mengingat kejadian subuh itu.
Waktu itu, tanggal 9 Desember 1947, tepatnya hari Selasa. sebanyak 300 lebih pasukan Belanda yang dipimpin Mayor Alphons Wijman ternyata sedang mencari pejuang negeri ini, bernama Kapten Lukas Kustario.
Karena tak ditemukan orang yang dicari Belanda, Mayor Alphons memerintahkan anak buahnya untuk mengumpulkan semua laki-laki dewasa dan berjajar di lapangan. Sejak itulah, pasukan Belanda menghabisi semua suami dan laki-laki dewasa.
Cawi yang belum mengetahui suara senapan yang didengarnya itu telah membunuh suaminya dan suami perempian lainnya. Waktu itu, dia tidak tahu karena masih bersembunyi di rumah. Tidak berani ke luar rumah.
“Saya tidak tahu itu ada pembantaian dan suami emak salah satu korbannya,” tuturnya. Perasaannya tak karuan cemas. Sorenya, barulah dia bersama perempuan lainnya memberanikan keluar mencari jenazah suaminya yang dibunuh Belanda.
“Emak temukan suami emak persis di pinggir sungai. Tapi sudah tak bernyawa,” Dia pun memeluknya, sambil mengelus luka bekas tembak di kepala suaminya yang tembus ke belakang.
Saat itu, dia baru sadar ternyata telah terjadi pembantaian besar-besaran terhadap kaum lelaki di kampungnya di Rawagede.
Ratusan janda menangisi jasad suamianya yang tergeletak sia-sia. “Saat itu juga kaum perempuan menggotong dan menguburkan sendiri mayat suaminya dengan peralatan seadanya,” katanya.
Ada yang membwa cangkul, golok, dan bahkan sendok semen. Asalkan bisa membuat lubang yang kira-kira bisa mengubur. Bahkan ada mayat yang dikubur dangkal, tidak sampai satu meter. Sehingga bau mayat begitu menyengat.
Rata-rata para perempuan yang merupakan ibu-bu mengubur jenazah suaminya di pekarangan rumah masing-masing. “Kalo suami emak dikubur disamping rumah, pada besoknya hari Rabu,”
Usianya kini sudah menginjak 90 tahun, pandangannya sudah tidak begitu jelas, tapi ingatannya masih kuat. Bila mengingat masa kelam itu, dia menangis. Bahkan ketika berkisah kepada okezone.
Saksi hidup lainnya, bercerita seputar tragedi berdarah yang membuat ratusan nyawa melayang. Adalah Basaden (74), waktu itu ia masih berumur 11 tahun.
Dia masih ingat betul bagaimana tentara Belanda membunuh kaum lelaki dewasa di subuh hari. Waktu itu, saat pembantaian hujan turun deras disertai kilat.
“Yang paling banyak dibunuh di Stasion Rawagede, banyak mayat bergelimpang pada menumpuk seperti sampah disana,” ucapnya sambil menunjuk jari telunjuknya ke lokasi tempat pembantaian.
Namun, lanjut Basaden, militer Belanda tidak membantai anak kecil dan ibu-ibu. Pasukan Belanda masuk ke setiap rumah untuk mencari lelaki dewasa.
“Tentara Belanda waktu itu masuk ke rumah untuk mencari bapak. Lalu di jawab Ibu kalau bapak tidak di rumah. Padahal mah bapak lagi ngumpet di bawah tempat penyimpanan padi, saya masih inget banget itu,” ujarnya tertawa.
Setelah kejadian itu, kampung Rawagede dikenal sebagai kampung janda, lantaran para kepala keluarga, suami mereka dibantai hidup-hidup.
Ada 483 Makam
Tragedi Rawagede adalah peristiwa pembantaian oleh tentara Belanda terhadap ratusan penduduk Kampung Rawagede yang sekarang terletak di Desa Balongsari, Rawamerta, Karawang, Jawa Barat, 9 Desember 1947.
Waktu itu, Belanda melancarkan agresi militer pertamanya disaat menjelang subuh dan tidak sedikit jumlah korban yang berjatuhan di Rawagede, sebanyak 483 nyawa melayang.
Jumlah ini berdasarkan data yang tercatat di depan makam Pahlawan Sampurna Raga di Karawang.
Disebutkan, yang menjadi korban aksi brutal militer Belanda di Rawagede pada 9 Desember 1947 tercatat 431 orang, 1 Januari-Oktober 1947 tercatat 35 orang dan untuk 1 Juli-November 1947 tercatat 17 orang.
Sehingga jumlah keseluruhan 483 orang. Dan dari jumlah ini yang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Sampurna Raga hanya 281 orang.
Saksi sejarah Basedan menuturkan tragedi berdarah yang membuat ratusan nyawa melayang. Basaden mengatakan bahwa disaat pembantaian yang dilakukan oleh militer Belanda cuaca pada saat itu hujan deras disertai kilat.
Kata Basaden, datangnya pasukan Belanda ke Rawagede dikarenakan ada mata-mata Belanda sehingga pada tanggal 9 Desember, Belanda datang serta menculik.
“Yang paling banyak dibunuh di Statiun Rawagede, banyak mayat bergelimpang pada menumpuk seperti sampah disana,” ucap pria kelahiran 1937 kepada okezone di Karawang, Jum’at (9/12/2011) sambil menunjuk jari telunjuknya ke lokasi temapt pembantaian.
Namun, lanjut Basaden, militer Belanda tidak membantai anak kecil dan ibu-ibu. Pasukan Belanda masuk setiap rumah untuk mencari bapak-bapak.
Dalam operasinya, Belanda selalu menyebut nama Kapten Lukas Kustario yang memang menjadi target Belanda untuk dibunuh.
Waktu itu, Belanda menyangka Kapten Lukas Kustario, yang merupakan Komandan Kompi Siliwangi yang diduga bersembunyi di Kampung Rawagede.
Namun, pasukan belanda tidak menemukan Kapten Lukas dan akhirnya pasukan Belanda memerintahkan agar semua warga laki-laki untuk berdiri, dan secara membabi buta pasukan Belanda menembak semua laki-laki yang berdiri dihadapannya.
sumber
0 Response to "Cerita Sedih Janda Korban Pembantaian di Rawagede"
Post a Comment